Total Pemirsa Petir Skripsi Hukum

Kamis, 05 April 2012

SKRIPSI HUKUM TERBARU 2012

DI SINI MBAH BLEDEX AKAN MEMPOSTING SKRIPSI HUKUM LAGI SEMOGA BERMANFAAT BAGI TEMAN-TEMAN YANG MEMBUTUHKAN......................!!!!!!!!!!!!!!!!!!


Pembangunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana tersebut adalah perbankan. Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana. Pasal 3 dan pasal 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanan pembangunan nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.1
 
Dalam menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit. Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.2 Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau dengan istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit.  Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa risiko, karena suatu risiko mungkin saja terjadi. Risiko yang umumnya terjadi adalah risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan. Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang dipinjamkan kepada debitor berasal atau bersumber dari masyarakat yang disimpan pada bank itu sehingga risiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.
3
 
Kredit yang diberikan oleh bank tentu saja mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal agunan, dan prospek usaha dari debitur. Apabila unsur-unsur yang ada telah dapat meyakinkan kreditur atas kemampuan debitur maka jaminan cukup hanya berupa jaminan pokok saja dan bank tidak wajib meminta jaminan tambahan.
Jaminan pokok yang dimaksud dalam pemberian kredit tersebut  adalah jaminan yang berupa sesuatu atau benda yang berkaitan langsung dengan kredit yang dimohon. Sesuatu yang dimaksud di sini adalah proyek atau prospek usaha yang dibiayai dengan kredit yang dimohon, sementara itu yang dimaksud benda di sini adalah benda yang dibiayai atau dibeli dengan kredit yang dimohon. Jenis tambahan yang dimaksud adalah jaminan yang tidak bersangkutan langsung dengan kredit yang dimohon. Jaminan ini berupa jaminan kebendaan yang objeknya adalah benda milik debitur maupun perorangan, yaitu kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur.
Kita mengenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktik di masyarakat, yaitu:
1.     
Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal guarantly), yaitu jaminan sesorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini antara lain borg yaitu pihak ketiga yang menjamin bahwa hutang orang lain pasti dibayar.
2.      Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid), yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk golongan ini apabila yang bersangkutan didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian penjualan hasil harta benda debitur, meliputi: previlege (hak istimewa), gadai, dan hipotek.
Praktik jaminan yang sering digunakan pada perbankan Indonesia, adalah jaminan kebendaan yang meliputi:
1.      Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.
2.      Credietverband, yaitu suatu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 6 Juli Tahun 1908 Nomor 50.
3.      Fiducia (fiduciare eigendomsoverdracht), yaitu pemindahan milik secara kepercayaan.
Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Tahun 1996, maka hipotek yang diatur oleh KUH Perdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan hutang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyaraat untuk mengikat tanah. Pengikatan objek jaminan hutang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang untuk selanjutnya disebut UUHT memberikan definisi Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT sebagai berikut
5
 
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.3

Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Untuk itu, praktik pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam UUHT.
6
 
Dari hal tersebut mendorong untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di lingkungan perbankan, khususnya bagi masyarakat kecil yang membutuhkan modal yang tidak terlalu besar, beserta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak Tanggungan dalam praktik. Untuk mengetahui lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam praktik.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut :
a.       Bagaimanakah perlindungan hukum pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ?
b.   Bagaimanakah pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan menurut Undang-undang   Nomor 4 Tahun 1996 di Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro ?


Kamis, 22 Maret 2012

DISINI MBAH KUSUMO BLEDEX AKAN MEMBERIKAN SEDIKIT REFERENSI SKRIPSI HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN TARFFICKING SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SEMOGA BERMANFAAT .....!!!!!!!!


 
BAB I
PENDAHULUAN

1. Permasalahan : Latar Belakang Dan Rumusannya
Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga dengan kata lain seseorang berhak dan wajib diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak disukai ataupun diperlakukan dengan tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut dengan UU Nomor 23 Tahun 2002) merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai masalah anak. Tujuan dari perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 : Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Disebutkan juga dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang hak dari anak yang menyebutkan bahwa : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pengingkaran terhadap kemuliaan hak asasi seorang anak akan terjadi apabila ada seseorang yang tidak lagi memandang seorang anak sebagai sebuah subyek yang sama dengan dirinya, akan tetapi lebih pada sebagai sebuah obyek yang bisa diperjualbelikan demi keuntungan pribadi.
Bisnis perdagangan orang saat ini banyak menjerat anak. Bisnis seperti ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia.
Perdagangan anak sendiri sebenarnya telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Lebih ironis lagi bahwa praktik perdagangan orang ini ternyata banyak terjadi di negara ini. Orang sebagai obyek dagang dalam transaksi ini yang mayoritas adalah anak perempuan, sebenarnya bukan fenomena baru di negara ini. Untuk menghitung jumlah pastinya sangat sulit yang kelihatan hanyalah sebagian kecil saja, akan tetapi jumlah yang lebih besar banyak yang luput dari sorotan media maupun masyarakat pada khususnya. Berbagai survei, penelitian, dan pengamatan menunjukkan kasus perdagangan orang cenderung meningkat dan kian memprihatinkan.
Sejarah perdagangan orang khususnya anak, pertama kali tercatat dalam Alquran Surat Yusuf ayat 20 : “Dan mereka menjual yusuf dengan murah...”. Perdagangan orang di Indonesia sudah terjadi pada masa penjajahan. Saat pendudukan Jepang, nenek-nenek moyang kita yang pada saat itu mungkin masih di bawah umur, telah mengalami hal yang serupa, yakni ditipu dan dijanjikan untuk berkarier di Jepang, namun yang sebenarnya terjadi adalah mereka disekap dan dijadikan budak-budak seks para tentara Jepang. Hingga kini, akibat tidak banyaknya pihak yang peduli serta kurangnya informasi, membuat kasus perdagangan anak terus berlarut-larut.
Data dari Kepolisian RI menyebutkan bahwa sejak tahun 2005 jumlah kasus perdagangan anak khususnya perempuan ada178 kasus, 2006 ada 155 kasus, 2007 ada 134 kasus, tahun 2008 ada 43 kasus, dan tahun 2009 terdapat 30 kasus. Sementara di luar Indonesia data yang dihimpun International Catholic Migration Commission (ICMC) 2009 menyebutkan kasus perdagangan anak yang berhasil dilaporkan berjumlah 130 kasus, dengan jumlah pelaku 198 dan jumlah korbannya ada 715 orang. Angka ini akan terus mengalami peningkatan pesat jika dibandingkan tahun 2007 yang hanya ada 84 kasus. Sedangkan laporan dari Unicef tahun 2005 diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan / dijadikan pelacur menjadi 40.000 sampai dengan 70.000 anak diseluruh Indonesia,dan dari jumlah tersebut sebesar 30 % dari mereka adalah anak perempuan usia kurang dari 18 tahun. Data lain menyebutkan 60 % jumlah perkosaan terjadi pada anak dansetiap tahunnya tidak kurang dari 1500 hingga 2000 kasus perkosaan di Indonesia yang terjadi di hampir semua propinsi di Indonesia korbannya adalah anak perempuan.
Persoalan perdagangan anak banyak sekali terjadi di daerah-daerah. Kendatipun demikian, pada prakteknya belum banyak pihak yang berinisiatif untuk mengatasi masalah ini, padahal masyarakat sebenarnya sudah sadar betul dan mengetahui tentang adanya proyek perdagangan orang yang terorganisir. Dari contoh kasus di atas persoalan ini memang menimbulkan permasalahan yang penanganannya memerlukan perhatian yang sangat serius.
Dalam kasus perdagangan anak perempuan, pelaku terbagi pada pelaku perekrutan (mengajak, menampung atau membawa korban), pengiriman (mengangkut, melabuhkan atau memberangkatkan korban), pelaku penyerahterimaan (menerima, mengalihkan atau memindahtangankan korban). Selain itu, dalam lingkup hubungan antara majikan dan pekerja, dapat juga dikategorikan sebagai sebagai pelaku ketika seorang majikan menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif. Kondisi yang sering terjadi adalah tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan hutang.
Sungguh ironis mengetahui bahwa keberadaan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya anak masih belum mampu secara maksimal menjadi payung hukum dan untuk kemudian menjerat para pelaku perdagangan anak perempuan yang semakin hari semakin terorganisir dan profesional.
Berdasarkan hal di atas saya mengajukan skripsi yang berjudul: “Tinjauan Yuridis Upaya Perlindungan Hukum Dan Rehabilitasi Bagi Korban Perdagangan Anak Perempuan Dengan Tujuan Untuk Dilacurkan ( Studi Kasus Perdagangan Anak Perempuan Susi Dan Nuning Di Desa Jatigembol Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi)”.
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, rumusan permasalahan yang dikemukakan adalah sebagai berikut :
a.       Bagaimanakah dasar perlindungan hukum dan rehabilitasi bagi korban perdagangan anak perempuan ?
b.   Apakah faktor-faktor penghambat perlindungan hukum bagi korban perdagangan anak perempuan di Desa Jatigembol Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi ?