DISINI MBAH KUSUMO BLEDEX AKAN MEMBERIKAN SEDIKIT REFERENSI SKRIPSI HUKUM
TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN TARFFICKING SESUAI
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SEMOGA BERMANFAAT .....!!!!!!!!
BAB I
PENDAHULUAN
1. Permasalahan
: Latar Belakang Dan Rumusannya
Setiap orang
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang
dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehingga dengan kata lain seseorang berhak dan wajib diperlakukan sebagai
manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Hak hidup setiap manusia tidak dapat
dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk hak untuk tidak
disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk
melakukan yang tidak disukai ataupun diperlakukan dengan tidak sesuai harkat,
martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.
Anak adalah amanah dan karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya, bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri
dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan. Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak
mulia, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya
serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (selanjutnya disebut dengan UU Nomor 23 Tahun 2002) merupakan peraturan
khusus yang mengatur mengenai masalah anak. Tujuan
dari perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 : Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia, dan sejahtera.
Disebutkan juga
dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang hak dari anak yang
menyebutkan bahwa : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pengingkaran terhadap
kemuliaan hak asasi seorang anak akan terjadi apabila ada seseorang yang tidak
lagi memandang seorang anak sebagai sebuah subyek yang sama dengan dirinya,
akan tetapi lebih pada sebagai sebuah obyek yang bisa diperjualbelikan demi
keuntungan pribadi.
Bisnis perdagangan orang saat ini banyak menjerat anak.
Bisnis seperti ini merupakan tindakan yang bertentangan
dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia.
Perdagangan anak sendiri
sebenarnya telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara
maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan
negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang
dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Lebih ironis lagi bahwa praktik perdagangan orang ini
ternyata banyak terjadi di negara ini. Orang sebagai obyek dagang dalam
transaksi ini yang mayoritas adalah anak perempuan, sebenarnya bukan fenomena
baru di negara ini. Untuk menghitung jumlah pastinya sangat sulit yang
kelihatan hanyalah sebagian kecil saja, akan tetapi jumlah yang lebih besar
banyak yang luput dari sorotan media maupun masyarakat pada khususnya. Berbagai
survei, penelitian, dan pengamatan menunjukkan kasus perdagangan orang
cenderung meningkat dan kian memprihatinkan.
Sejarah perdagangan orang khususnya
anak, pertama kali tercatat dalam Alquran Surat Yusuf ayat 20 : “Dan mereka
menjual yusuf dengan murah...”. Perdagangan orang di Indonesia sudah terjadi pada masa
penjajahan. Saat pendudukan Jepang, nenek-nenek moyang kita yang pada saat itu
mungkin masih di bawah umur, telah mengalami hal yang serupa, yakni ditipu dan
dijanjikan untuk berkarier di Jepang, namun yang sebenarnya terjadi adalah
mereka disekap dan dijadikan budak-budak seks para tentara Jepang. Hingga kini,
akibat tidak banyaknya pihak yang peduli serta kurangnya informasi, membuat
kasus perdagangan anak terus berlarut-larut.
Data dari Kepolisian RI menyebutkan
bahwa sejak tahun 2005 jumlah kasus perdagangan anak khususnya
perempuan ada178 kasus, 2006 ada 155 kasus, 2007 ada 134 kasus, tahun 2008 ada 43 kasus, dan tahun 2009 terdapat 30 kasus. Sementara di luar Indonesia
data yang dihimpun International Catholic Migration
Commission (ICMC) 2009 menyebutkan kasus perdagangan anak yang berhasil
dilaporkan berjumlah 130 kasus, dengan jumlah pelaku 198 dan jumlah korbannya
ada 715 orang. Angka ini akan terus mengalami peningkatan pesat jika dibandingkan tahun 2007 yang hanya ada
84 kasus. Sedangkan laporan dari Unicef tahun 2005
diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan / dijadikan
pelacur menjadi 40.000 sampai dengan 70.000 anak diseluruh Indonesia,dan dari
jumlah tersebut sebesar 30 % dari mereka adalah anak perempuan usia kurang dari
18 tahun. Data lain menyebutkan 60 % jumlah perkosaan terjadi pada anak
dansetiap tahunnya tidak kurang dari 1500 hingga 2000 kasus perkosaan di
Indonesia yang terjadi di hampir semua propinsi di Indonesia korbannya adalah
anak perempuan.
Persoalan
perdagangan anak banyak sekali terjadi di daerah-daerah. Kendatipun demikian,
pada prakteknya belum banyak pihak yang berinisiatif untuk mengatasi masalah
ini, padahal masyarakat sebenarnya sudah sadar betul dan mengetahui tentang
adanya proyek perdagangan orang yang terorganisir. Dari contoh kasus di atas
persoalan ini memang menimbulkan permasalahan yang penanganannya memerlukan
perhatian yang sangat serius.
Dalam kasus perdagangan anak
perempuan, pelaku terbagi pada pelaku perekrutan (mengajak, menampung atau
membawa korban), pengiriman (mengangkut, melabuhkan atau memberangkatkan
korban), pelaku penyerahterimaan (menerima, mengalihkan atau memindahtangankan
korban). Selain itu, dalam lingkup hubungan antara majikan dan pekerja, dapat
juga dikategorikan sebagai sebagai pelaku ketika seorang majikan menempatkan
pekerjanya dalam kondisi eksploitatif. Kondisi yang sering terjadi adalah tidak
membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik atau seksual,
memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan hutang.
Sungguh ironis
mengetahui bahwa keberadaan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
khususnya anak masih belum mampu secara maksimal menjadi payung hukum dan untuk
kemudian menjerat para pelaku perdagangan anak perempuan yang semakin hari
semakin terorganisir dan profesional.
Berdasarkan hal di
atas saya mengajukan skripsi yang berjudul: “Tinjauan Yuridis Upaya
Perlindungan Hukum Dan Rehabilitasi Bagi Korban Perdagangan Anak Perempuan
Dengan Tujuan Untuk Dilacurkan ( Studi Kasus Perdagangan Anak Perempuan Susi Dan Nuning Di Desa Jatigembol
Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi)”.
Dari uraian latar belakang tersebut
di atas, rumusan permasalahan yang dikemukakan adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah dasar perlindungan hukum dan
rehabilitasi bagi korban perdagangan anak perempuan ?
b. Apakah faktor-faktor penghambat perlindungan hukum bagi
korban perdagangan anak perempuan di Desa Jatigembol
Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar